Pencak Silat,
Serba-serbi PSHT,
SH Terate
Eksistensi Bulan Suro Dalam Tradisi SH Terate
Suro adalah nama bulan pertama dalam tahun Saka (kalender Jawa) yang bertepatan dengan bulan pertama dalam kelender Hijriyah yaitu Muharram yang berdasarkan perhitungan peredaran bulan (komariah). Sehingga bulan suro sangat identik dengan bulan Muharram walaupun pada kurun waktu tertentu berbeda dalam memulai tanggal dan awal bulan.
Nama bulan Suro bertepatan dengan bulan Muharram karena ditetapkan oleh Sultan Agung Hanyokro Kusumo sebagai penguasa beragama Islam Jawa di Mataram pada 1555 tahun Saka atau tahun tahun 1633 Masehi saat itu.
Nama sebelum ini adalah SRAWANA yang jatuh setiap tanggal 8 Juli karena sebelum 1555 tahun Saka memakai perhtungan seperti tahun Kabisat/Masehi yaitu 365 Hari (Kabisat + 1 hari sebagai akumulasi kelebihan 6 jam selama 4 tahun).
Eksistensi Bulan Suro Dalam Berbagai Perspektif
1. Dalam Perspektif Islam
Kata Suro sendiri berasal dari bahasa arab dan terminolgi Islam (Bahasa Arab) "Assyuro" yaitu hari kesepuluh bulan Muharram yang merupakan hari yang paling bersejarah dari sejarah manapun juga karena pada hari itu pertama kali Allah SWT ( Tuhan) menciptakan dunia, dan pada hari yang sama pula Allah akan mengakhiri kehidupan di dunia (qiyamat).
Pada hari 'asyura' pula Allah mencipta Lauh Mahfudh dan Qalam, menurunkan hujan untuk pertama kalinya, menurunkan rahmat di atas bumi. Dan pada hari 'asyura' itu Allah mengangkat Nabi Isa as. ke atas langit. Dan pada hari 'asyura' itulah Nabi Nuh as. turun dari kapal setelah berlayar karena banjir bandang.
Terlepas dari kontroversi atas apa yang telah dilakukan oleh Sultan Agung pada saat itu, Suro telah amat dan sanagat berbeda dengan bulan Srawana pada tahun Saka sebelumnya. Suro pascaperubahan tersebut menjadi unik dan lain dalam Tradisi Jawa dan Islam.
Atas berbagai peristiwa sejarah sebagaimana perpektif Islam diatas, bulan Suro "Asyuro"/Muharram merupakan salah satu di antara empat bulan (Dzulqo’dah,Dzulhijjah, Muharram dan Rojab) yang dinamakan bulan haram atau mulia. Karena sebagai bulan mulia maka pada bulan-bualn tersebut dilarang melakukan Pembunuhan dan Perbuatan haram (kejahatan) yang lain.
2. Dalam Perspektif Tradisi Jawa
Dalam perspektif dan tradisi Jawa, bulan Suro "Srawana" ada yang mamahami sebagai bulan penuh musibah, penuh bencana dan bulan penuh kesialan. Dalam pemahaman yang lain, bulan suro dianggap sebagai bulan keramat dan sangat sakral.
Atas dasar perbedaan dan keunikan tersebut maka untuk merayakan bulan suro/muharram ditandai dengan kegiatan yang berbeda mulai dari syukuran (selamatan),ritual, ruwat, melek'an (tidak tidur semalam suntuk),tapa bisu dan lain-lain sebagai refleksi pembersihan dan penyucian diri.
3. Dalam Perspektif SH Terate
Memadukan berbagai keunikan, tradisi dan bahkan keyakinan yang berbeda, dalam perspektif Setia Hati Terate bulan suro adalah bulan penting dan juga sakral.
Bagi calon warga SH Terate , bulan suro menjadi momentum penting untuk menjadi pribadi yang baru karena telah layak menjadi Warga Persaudaraan Setia Hati Terate lahir dan batin ( manusia yang berbudi luhur, tahu benar dan salah,bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa dan memayu hayuning bawana). Menjadi manusia suci yang lahir kembali ke dunia (tidak punya noda/dosa) yang ditandai dengan lembaran kain putih berupa Mori.
Bagi warga SH Terate bulan suro juga merupakan peristiwa penting disamping bertambahnya saudara baru, dengan ditandai dengan pencucian kain Mori bulan suro juga merupakan momentum penting untuk refleksi, instropeksi dan penyucian diri/pribadi untuk kembali dan tetap menjadi pribadi/manusia yang berbudi luhur, tahu benar dan salah,bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa dan memayu hayuning bawana.
0 komentar